Apa
yang kamu rasakan ketika angin datang? Ketakutankah?
Berbeda
denganku ketika angin datang aku akan merasa sangat bahagia, karena angin akan
mendatangkan rezeki untuk keluarga kami.
Karena biasanya akan banyak buah kelapa, daun kelapa, ranting pohon yang kering dan
buah – buahan yang lain akan berjatuhan. Beruntungnya angin yang biasa
datangpun bukan angin badai atau angin topan seperti bencana yang ada di berita
telivisi.
Ketika
angin mulai berhenti bertiup kencang meski masih hujan dengan sigap aku akan
keluar rumah semangat mengumpulkan rezeki tersebut sebelum keduluan dengan
orang lain.
Aku tidak tau persis hukumnya bagaimana jika mengambil buah yang sudah terjatuh
dari pohonnya? Tapi pesan mak adalah boleh mengambil buah atau pelepah daun
kelapa ditempat perkebunan terbuka, kecuali jika tanaman tersebut ada didalam
pagar maka aku tidak boleh mengambilnya.
Tahun
1993, Perkenalkan namaku Nike, entah kenapa orang tuaku memilih nama itu
mungkin karena ngefans berat dengan penyanyi terkenal pada masa itu Nike
Ardila.
Aku
anak pertama dari tiga bersaudara umurku saat itu hampir sebelas tahun, adikku
yang pertama namanya Yana berumur enam tahun dan adik bontotku bernama Ahmad
berumur tiga tahun, Kami tinggal dipinggir pantai selatan Sumatera.
“Mak,
anginnya sudah mulai reda Nike pergi ke belakang dulu yah, siapa tau hari ini
dapat rezeki lumayan”
“Ke…
tapi masih hujan nak, sahut mak”
“Gak
apa – apa mak, udah gak deras lagi kok, Nike pakai tudung Serindak (serindak adalah penutup kepala yang berbentuk kerucut
yang terbuat dari anyaman bambu.
“Yah
sudah tapi jangan lama – lama yah nak, sebentar lagi maghrib, kalau angin
kencang lagi segera pulang, mak takut kamu kenapa – kenapa tertimpa sesuatu, oh
iya … hasil yang terkumpul nanti Nike kumpulkan di dekat pohon duku, biar mak
yang bantu buat angkatin besok pagi”
“Siap
bos! (dengan posisi tegap, dan angkat tangan memberi hormat), doain aku yah mak
baik – baik saja dan dapat banyak rezeki”, aku langsung berlari kecil pergi
keperkebunan kelapa di belakang rumahku yang terhampar luas.
Begitulah
yang kami lakukan, kalau mak sedang tidak ada kerjaan biasanya aku bersama mak
meski kehujanan badan menggigil kedinginan kami tetap tersenyum sedikit
banyaknya hasil yang kami dapatkan kami tetap bersyukur.
Tapi
hari ini karena mak sedang membersihkan singkong untuk diproses menjadi tape
jadi aku berangkat sendirian, alhamdulillah ternyata rezeki yang kudapatkan
hari ini lumayan, banyak pelepah kelapa yang sudah kering berjatuhan, dan
terkumpul 20 Pcs buah kelapa.
5 pcs
buah kelapa langsung aku bawa pulang, sisanya aku simpan dimasukan kedalam
tumpukan daun kelapa biar besok pagi mak yang mengambilnya.
Ketika
matahari mulai tenggelam aku bergegas pulang, karena pertanda maghrib akan tiba
aku harus segera mandi dan sholat maghrib, di kampungku ini sangat minim agama
jangan mengharap adanya bunyi adzan, karena adzan itu akan kedengaran hanya di
tv ataupun di radio.
Kalau
adzan dari masjid biasanya waktu bulan puasa pertanda akan berbuka puasa dan
ketika hari jum’at pertanda akan masuk waktu sholat jum’at, itupun yang datang
sholat jum’at hanya sekitar sembilan sampai sebelas orang saja.
Selebihnya
masjid hanya bangunan yang di kunci tak jarang di terasnya menjadi tempat
berteduh ayam dan kambing, aku dan mak sering membersihkannya, karena di masjid
kampungku tidak ada marbotnya.
Miris
bukan! Padahal 100 % penduduk di desa kami adalah muslim, tapi apalah daya
kesadaran untuk beribadah di desaku sangat minim, mak sendiri baru belajar
sholat ketika aku umur sekitar lima tahun kalau ga salah.
Aku
masih mengingat bagaimana mak di waktu sholatnya berhenti lalu membuka buku
catatan lagi, dan aku bertanya, “kenapa mak lupa yah?” mak hanya membalas
dengan senyuman kemudian mengulang sholatnya.
Oh
iya belum ku ceritakan tentang bapak, bapak tidak tinggal bersama kami, dia
tidak betah hidup di kampung bapak menjadi tukang bangunan berkelana dari kota
A sampai ke kota B bahkan menjadi TKI pun pernah dilakoninya.
Kalau
mengharapkan nafkah dari bapak sangatlah tidak mungkin karena bapak pulangnya
tidak tentu, jadi mau tidak mau mak harus kerja keras banting tulang untuk
membiayai kehidupan kami, apa saja dilakukannya selagi halal kenapa tidak.
Pernah
dulu waktu masih kecil aku dan mak ikut bapak berpetualang dari perkebunan
daerah Sumatera selatan pindah ke kota Jakarta, tapi setelah lahir adikku mak
berfikir tidak mungkin harus begini terus tanpa arah.
Akhirnya
mak membawaku pulang kampung dan berbekal tabungan sedikit mak membeli tanah
dan membangun ruangan sebesar 3 x 4 meter sebagai tempat tinggal kami. Awalnya
bapak tetap tidak setuju tapi keputusan mak sudah bulat untuk tinggal
dikampung, dan resikonya yah itu, bapak tidak jelas kapan pulangnya.
Sewaktu
aku ujian kenaikan kelas lima, seperti biasa mak akan menemaniku belajar sambil
mengayam daun pandan untuk dibuat menjadi tikar yang nantinya bisa dijual.
Kalau
bapak pulang anyaman mak akan buru – buru disimpan dulu, karena bapak tidak
suka melihat rumah berantakan.
Banyak
orang yang mengejek dan bertanya “bapaknya kemana? Kok gak pernah kelihatan?
Sudah kawin lagi yah?” dan aku tidak pernah menjawab karena pesan mak kalau
orang mengejek tidak perlu menjawab, kalau bisa disenyumin saja. Tapi kalau
orangnya bertanya baik – baik, cukup bilang saja bapak lagi kerja merantau jauh
di kota.
Alhamdulillah
hasil ujianku selalu memuaskan aku selalu mendapatkan juara di kelas, meski
waktu belajar hanya sedikit tidak ada les tambahan apapun.
Pulang
sekolah jika mak mau ke sawah atau apapun kegiatannya, menjaga adik – adikku,
menyapu, mencuci piring dan memandikan adik adalah tugas utamaku.
Oh
iya sumur di rumah kami kering jadi aku harus menumpang di sumur tetangga yang
jaraknya sekitar 300 meter dari rumah. Dan bolak balik mengangkut air sebanyak
10 liter untuk persediaan air dirumah, jadi mak nanti pulang tidak terlalu
lelah dan bisa langsung memasak untuk kami.
Setelah
sholat maghrib, kami selalu makan satu piring bersama, rasanya seru sekali
bergiliran mendapatkan suapan dari tangan mak, apalagi hari ini rasanya luar
biasa nikmat seperti kamilah keluarga yang paling bahagia.
Bisa
makan nasi hangat dengan lauk 2 ceker ayam dicampur dengan nangka muda
masyallah enak banget, tentunya dengan makan 1 piring bersama jadi sedikit
cucian piring kotor.
Setelah
makan aku segera berangkat belajar mengaji kerumah Wakdi bersama teman – teman
dekat rumah dengan membawa senter karena takut menginjak kotoran sapi,
dijalanan tidak ada lampu jalan hanya samar – samar penerangan dari lampu teras
rumah orang. Itupun kebanyakan orang memilih lampu teras paling 5 watt untuk
menghemat listrik.
Mak
selalu memberi nasehat cukup mak yang bodoh tidak mengerti ilmu dunia dan ilmu
agama, anak mak harus bisa, mak akan selalu berjuang buat kalian, hebatnya lagi
tidak pernah aku melihat mak mengeluh.
Aku
saja heran kenapa bisa mak mempunyai sabar sebesar lautan. Setiap bapak marah
mak selalu diam, bapak orangnya memang pemarah, ringan tangan dan sering
memecahkan perabot rumah tangga, hal sepele saja bisa menjadi besar jika tidak
sesuai dengan keinginanya.
Tetangga
banyak yang bergunjing hai kak Titi (Titi adalah nama makku) “kalau saya jadi
kak Titi, sudah pasti minta pisah buat apa lelaki seperti bang Hasan itu
dipertahankan, pemarah, pemalas kerjaannya bisanya cuma berkelana, makan, tidur
dan bikin anak doang”.
Mak
hanya tersenyum “biarlah mungkin ini takdir saya, biar gimanapun bang Hasan
adalah bapak dari ke tiga anak saya, sesakit apapun yang saya alami insyallah
saya ikhlas, mudah – mudahan suatu saat bisa berubah, tidak bisa berubah dengan
kata – kata saya, insyallah dengan kekuatan do’a anak saya.
Di
balik pintu aku mendengar mak berbicara seperti itu membuat aku semakin
bertekad untuk lebih rajin beribadah, menambah hapalan alqur’an dan disetiap
sholat kupanjatkan do’a untuk kami sekeluarga, dan tidak lupa berpuasa sunah.
Tahun
1994
Ada
donutaur yang datang ke kampungku, mereka memberikan dana untuk membangun
masjid mengajak pemuda pemudi desa untuk bersama – sama meningkatkan kesadaran
beribadah, sasarannya dimulai dengan anak – anak .
Terbentuklah
madrasah yang setiap sore mengajari anak – anak mengaji dari jam 15.00 WIB
sampai jam 17.00 WIB sekalian kegiatan sholat ashar berjamaah, mendengar info
tersebut aku langsung mendaftarkan diri, dan alhamdulillah mak pun memberi
restu.
Sudah
berbekal dari dasar mengaji dengan Wakdi jadi cukup cepat aku mengerti dan
khatam Alqur’an. Karena dirasa pengajar aku sudah mampu merekapun mendaftarkan
aku untuk kegiatan pesantren kilat dan lomba mengaji, untuk siswa – siswi yang
nantinya lulus akan mengikuti wisuda.
Pengumuman
wisuda tercantum namaku masyallah rasanya senang sekali, apalagi aku angkatan
pertama di desaku, yang menjadi kendala lagi untuk mengikuti wisuda itu
berbayar baju toga harus membeli.
Sedangkan
kami tidak mempunyai uang, jadi aku dan mak semakin semangat mengumpulkan
kelapa di buat menjadi kopra
(kopra adalah daging kelapa yang dikeringkan) agar nilai jualnya lebih tinggi.
Lalu
sepatu yang aku gunakan saat itu hasil meminjam dengan tetangga yang sudah
kelas 3 SMP otomatis kakinya lebih besar dibandingkan kakiku, tapi tidak menyurutkan
kebahagiaanku sepatu itu diikat dengan kencang agar kakiku tidak keluar dan
diujungnya dimasukan kaos kaki agar terlihat penuh.
Sepatu
yang aku punya tidak layak dipakai karena sudah dua kali minta tukang sol untuk
memperbaiki, dan untuk ketiga kalinya tukang solnya tersenyum.
“Maaf
dek, sepatunya tertawa sudah terlalu lebar, jadi abang sudah tidak bisa
membuatnya tertutup lagi”.
Akupun
ikutan tertawa mendengarnya, iya tertawa… meski tertawa menahan perih, setiap
hari senin sebelum upacara aku selalu melihat deretan sepatu teman – teman yang
bagus, lalu berhenti pada sepatu yang nasibnya hampir sama dengan sepatuku,
pelan – pelan kuangkat wajahku penasaran dengan sang pemilik sepatu, ternyata
dia adalah Titin anak kelas empat, yang ibunya sudah meninggal saat
melahirkanya dulu.
Titin
juga memperhatikanku yang sedang melihat semua sepatu orang, ketika tatapan
mata kami bertemu, diapun tersenyum mengacungkan jempol tangan beserta jempol
kaki dibalut kaos kaki yang menguning. Akupun mengangkat jempol tanganku, kami
tersenyum bersama.
Saat
Wisuda, berada di ruangan yang besar dengan berkumpul dengan teman – teman dari
berbaga daerah, Semua terbayar ketika aku naik ke panggung, seorang guru besar
penguji memberikan pertanyaan kepada mak.
“anak
ibu pintar mengaji, menurun dari siapakah bisa seperti ini?”
Mak
hanya menunduk, dengan mata berlinang mak menjawab “ini berkat kerja keras dia
belajar dengan gurunya pak, saya dan bapaknya baru belajar mengaji”
“Bapaknya
kenapa tidak ikut bu di hari bahagia ini”
“Bapaknya
sedang merantau pak”
Guru
penguji tersebut memberikan selamat dan menggenggam tanganku dengan erat,
“pertahankan akhlak baikmu nak, hormati dan sayangi orang tuamu, teruslah
semangat beribadah dan doakan mereka”
Turun
dari panggung mak dan aku menangis tersedu – sedu, ini kali pertama aku melihat
mak menangis bahagia, Masyallah rasanya. Lalu melihat sekiling orang sibuk mengabadikan
diri berfoto bersama – sama, tapi apalah daya karena kami cuma punya ongkos
angkot pulang saja, jadi kami tak mampu membayar tukang foto untuk berfoto
sebagai kenang – kenangan.
Pasti
lucu sekali membayangkan aku yang kurus hitam memakai baju wisuda dengan sepatu
yang kebasaran, tapi hari bersejarah itu tetap terkenang melekat disanubari.
Hari
itu aku tetap merindukan angin… aku ingin angin menyampaikan salam untuk
bapakku, pulanglah pak hiduplah bersama kami, kita hadapai dunia baik suka maupun
duka.
Kita belajar beribadah bersama - sama, karena selama yang aku tau aku tak pernah
melihat bapak sholat, puasa ataupun mengaji, aku ingin kita sholat berjamaah,
kami merindukanmu, peluk dan sayang dari mak dan anak – anakmu, aku ingin kita
menjadi keluarga bahagia dunia dan akhirat.