Senin, 11 November 2019

Gadis yang Merindukan Angin

Apa yang kamu rasakan ketika angin datang? Ketakutankah?
Berbeda denganku ketika angin datang aku akan merasa sangat bahagia, karena angin akan mendatangkan rezeki untuk keluarga kami.

Karena biasanya akan banyak buah kelapa, daun kelapa, ranting pohon yang kering dan
buah – buahan yang lain akan berjatuhan. Beruntungnya angin yang biasa datangpun bukan angin badai atau angin topan seperti bencana yang ada di berita telivisi.

Ketika angin mulai berhenti bertiup kencang meski masih hujan dengan sigap aku akan keluar rumah semangat mengumpulkan rezeki tersebut sebelum keduluan dengan orang lain.

Aku tidak tau persis hukumnya bagaimana jika mengambil buah yang sudah terjatuh dari pohonnya? Tapi pesan mak adalah boleh mengambil buah atau pelepah daun kelapa ditempat perkebunan terbuka, kecuali jika tanaman tersebut ada didalam pagar maka aku tidak boleh mengambilnya.
Tahun 1993, Perkenalkan namaku Nike, entah kenapa orang tuaku memilih nama itu mungkin karena ngefans berat dengan penyanyi terkenal pada masa itu Nike Ardila.
Aku anak pertama dari tiga bersaudara umurku saat itu hampir sebelas tahun, adikku yang pertama namanya Yana berumur enam tahun dan adik bontotku bernama Ahmad berumur tiga tahun, Kami tinggal dipinggir pantai selatan Sumatera.
“Mak, anginnya sudah mulai reda Nike pergi ke belakang dulu yah, siapa tau hari ini dapat rezeki lumayan”
“Ke… tapi masih hujan nak, sahut mak”
“Gak apa – apa mak, udah gak deras lagi kok, Nike pakai tudung Serindak (serindak adalah penutup kepala yang berbentuk kerucut yang terbuat dari anyaman bambu.
“Yah sudah tapi jangan lama – lama yah nak, sebentar lagi maghrib, kalau angin kencang lagi segera pulang, mak takut kamu kenapa – kenapa tertimpa sesuatu, oh iya … hasil yang terkumpul nanti Nike kumpulkan di dekat pohon duku, biar mak yang bantu buat angkatin besok pagi”
“Siap bos! (dengan posisi tegap, dan angkat tangan memberi hormat), doain aku yah mak baik – baik saja dan dapat banyak rezeki”, aku langsung berlari kecil pergi keperkebunan kelapa di belakang rumahku yang terhampar luas.
Begitulah yang kami lakukan, kalau mak sedang tidak ada kerjaan biasanya aku bersama mak meski kehujanan badan menggigil kedinginan kami tetap tersenyum sedikit banyaknya hasil yang kami dapatkan kami tetap bersyukur.
Tapi hari ini karena mak sedang membersihkan singkong untuk diproses menjadi tape jadi aku berangkat sendirian, alhamdulillah ternyata rezeki yang kudapatkan hari ini lumayan, banyak pelepah kelapa yang sudah kering berjatuhan, dan terkumpul 20 Pcs buah kelapa.
5 pcs buah kelapa langsung aku bawa pulang, sisanya aku simpan dimasukan kedalam tumpukan daun kelapa biar besok pagi mak yang mengambilnya.
Ketika matahari mulai tenggelam aku bergegas pulang, karena pertanda maghrib akan tiba aku harus segera mandi dan sholat maghrib, di kampungku ini sangat minim agama jangan mengharap adanya bunyi adzan, karena adzan itu akan kedengaran hanya di tv ataupun di radio.
Kalau adzan dari masjid biasanya waktu bulan puasa pertanda akan berbuka puasa dan ketika hari jum’at pertanda akan masuk waktu sholat jum’at, itupun yang datang sholat jum’at hanya sekitar sembilan sampai sebelas orang saja.
Selebihnya masjid hanya bangunan yang di kunci tak jarang di terasnya menjadi tempat berteduh ayam dan kambing, aku dan mak sering membersihkannya, karena di masjid kampungku tidak ada marbotnya.
Miris bukan! Padahal 100 % penduduk di desa kami adalah muslim, tapi apalah daya kesadaran untuk beribadah di desaku sangat minim, mak sendiri baru belajar sholat ketika aku umur sekitar lima tahun kalau ga salah.
Aku masih mengingat bagaimana mak di waktu sholatnya berhenti lalu membuka buku catatan lagi, dan aku bertanya, “kenapa mak lupa yah?” mak hanya membalas dengan senyuman kemudian mengulang sholatnya.
Oh iya belum ku ceritakan tentang bapak, bapak tidak tinggal bersama kami, dia tidak betah hidup di kampung bapak menjadi tukang bangunan berkelana dari kota A sampai ke kota B bahkan menjadi TKI pun pernah dilakoninya.
Kalau mengharapkan nafkah dari bapak sangatlah tidak mungkin karena bapak pulangnya tidak tentu, jadi mau tidak mau mak harus kerja keras banting tulang untuk membiayai kehidupan kami, apa saja dilakukannya selagi halal kenapa tidak.
Pernah dulu waktu masih kecil aku dan mak ikut bapak berpetualang dari perkebunan daerah Sumatera selatan pindah ke kota Jakarta, tapi setelah lahir adikku mak berfikir tidak mungkin harus begini terus tanpa arah.
Akhirnya mak membawaku pulang kampung dan berbekal tabungan sedikit mak membeli tanah dan membangun ruangan sebesar 3 x 4 meter sebagai tempat tinggal kami. Awalnya bapak tetap tidak setuju tapi keputusan mak sudah bulat untuk tinggal dikampung, dan resikonya yah itu, bapak tidak jelas kapan pulangnya.
Sewaktu aku ujian kenaikan kelas lima, seperti biasa mak akan menemaniku belajar sambil mengayam daun pandan untuk dibuat menjadi tikar yang nantinya bisa dijual.
Kalau bapak pulang anyaman mak akan buru – buru disimpan dulu, karena bapak tidak suka melihat rumah berantakan.
Banyak orang yang mengejek dan bertanya “bapaknya kemana? Kok gak pernah kelihatan? Sudah kawin lagi yah?” dan aku tidak pernah menjawab karena pesan mak kalau orang mengejek tidak perlu menjawab, kalau bisa disenyumin saja. Tapi kalau orangnya bertanya baik – baik, cukup bilang saja bapak lagi kerja merantau jauh di kota.
Alhamdulillah hasil ujianku selalu memuaskan aku selalu mendapatkan juara di kelas, meski waktu belajar hanya sedikit tidak ada les tambahan apapun.
Pulang sekolah jika mak mau ke sawah atau apapun kegiatannya, menjaga adik – adikku, menyapu, mencuci piring dan memandikan adik adalah tugas utamaku.
Oh iya sumur di rumah kami kering jadi aku harus menumpang di sumur tetangga yang jaraknya sekitar 300 meter dari rumah. Dan bolak balik mengangkut air sebanyak 10 liter untuk persediaan air dirumah, jadi mak nanti pulang tidak terlalu lelah dan bisa langsung memasak untuk kami.
Setelah sholat maghrib, kami selalu makan satu piring bersama, rasanya seru sekali bergiliran mendapatkan suapan dari tangan mak, apalagi hari ini rasanya luar biasa nikmat seperti kamilah keluarga yang paling bahagia.

Bisa makan nasi hangat dengan lauk 2 ceker ayam dicampur dengan nangka muda masyallah enak banget, tentunya dengan makan 1 piring bersama jadi sedikit cucian piring kotor.

Setelah makan aku segera berangkat belajar mengaji kerumah Wakdi bersama teman – teman dekat rumah dengan membawa senter karena takut menginjak kotoran sapi, dijalanan tidak ada lampu jalan hanya samar – samar penerangan dari lampu teras rumah orang. Itupun kebanyakan orang memilih lampu teras paling 5 watt untuk menghemat listrik.

Mak selalu memberi nasehat cukup mak yang bodoh tidak mengerti ilmu dunia dan ilmu agama, anak mak harus bisa, mak akan selalu berjuang buat kalian, hebatnya lagi tidak pernah aku melihat mak mengeluh.
Aku saja heran kenapa bisa mak mempunyai sabar sebesar lautan. Setiap bapak marah mak selalu diam, bapak orangnya memang pemarah, ringan tangan dan sering memecahkan perabot rumah tangga, hal sepele saja bisa menjadi besar jika tidak sesuai dengan keinginanya.

Tetangga banyak yang bergunjing hai kak Titi (Titi adalah nama makku) “kalau saya jadi kak Titi, sudah pasti minta pisah buat apa lelaki seperti bang Hasan itu dipertahankan, pemarah, pemalas kerjaannya bisanya cuma berkelana, makan, tidur dan bikin anak doang”.
Mak hanya tersenyum “biarlah mungkin ini takdir saya, biar gimanapun bang Hasan adalah bapak dari ke tiga anak saya, sesakit apapun yang saya alami insyallah saya ikhlas, mudah – mudahan suatu saat bisa berubah, tidak bisa berubah dengan kata – kata saya, insyallah dengan kekuatan do’a anak saya.
Di balik pintu aku mendengar mak berbicara seperti itu membuat aku semakin bertekad untuk lebih rajin beribadah, menambah hapalan alqur’an dan disetiap sholat kupanjatkan do’a untuk kami sekeluarga, dan tidak lupa berpuasa sunah.
Tahun 1994
Ada donutaur yang datang ke kampungku, mereka memberikan dana untuk membangun masjid mengajak pemuda pemudi desa untuk bersama – sama meningkatkan kesadaran beribadah, sasarannya dimulai dengan anak – anak .
Terbentuklah madrasah yang setiap sore mengajari anak – anak mengaji dari jam 15.00 WIB sampai jam 17.00 WIB sekalian kegiatan sholat ashar berjamaah, mendengar info tersebut aku langsung mendaftarkan diri, dan alhamdulillah mak pun memberi restu.
Sudah berbekal dari dasar mengaji dengan Wakdi jadi cukup cepat aku mengerti dan khatam Alqur’an. Karena dirasa pengajar aku sudah mampu merekapun mendaftarkan aku untuk kegiatan pesantren kilat dan lomba mengaji, untuk siswa – siswi yang nantinya lulus akan mengikuti wisuda.
Pengumuman wisuda tercantum namaku masyallah rasanya senang sekali, apalagi aku angkatan pertama di desaku, yang menjadi kendala lagi untuk mengikuti wisuda itu berbayar baju toga harus membeli.
Sedangkan kami tidak mempunyai uang, jadi aku dan mak semakin semangat mengumpulkan kelapa di buat menjadi kopra (kopra adalah daging kelapa yang dikeringkan) agar nilai jualnya lebih tinggi.
Lalu sepatu yang aku gunakan saat itu hasil meminjam dengan tetangga yang sudah kelas 3 SMP otomatis kakinya lebih besar dibandingkan kakiku, tapi tidak menyurutkan kebahagiaanku sepatu itu diikat dengan kencang agar kakiku tidak keluar dan diujungnya dimasukan kaos kaki agar terlihat penuh.
Sepatu yang aku punya tidak layak dipakai karena sudah dua kali minta tukang sol untuk memperbaiki, dan untuk ketiga kalinya tukang solnya tersenyum.
“Maaf dek, sepatunya tertawa sudah terlalu lebar, jadi abang sudah tidak bisa membuatnya tertutup lagi”.
Akupun ikutan tertawa mendengarnya, iya tertawa… meski tertawa menahan perih, setiap hari senin sebelum upacara aku selalu melihat deretan sepatu teman – teman yang bagus, lalu berhenti pada sepatu yang nasibnya hampir sama dengan sepatuku, pelan – pelan kuangkat wajahku penasaran dengan sang pemilik sepatu, ternyata dia adalah Titin anak kelas empat, yang ibunya sudah meninggal saat melahirkanya dulu.
Titin juga memperhatikanku yang sedang melihat semua sepatu orang, ketika tatapan mata kami bertemu, diapun tersenyum mengacungkan jempol tangan beserta jempol kaki dibalut kaos kaki yang menguning. Akupun mengangkat jempol tanganku, kami tersenyum bersama.

Saat Wisuda, berada di ruangan yang besar dengan berkumpul dengan teman – teman dari berbaga daerah, Semua terbayar ketika aku naik ke panggung, seorang guru besar penguji memberikan pertanyaan kepada mak.
“anak ibu pintar mengaji, menurun dari siapakah bisa seperti ini?”

Mak hanya menunduk, dengan mata berlinang mak menjawab “ini berkat kerja keras dia belajar dengan gurunya pak, saya dan bapaknya baru belajar mengaji”
“Bapaknya kenapa tidak ikut bu di hari bahagia ini”
“Bapaknya sedang merantau pak”
Guru penguji tersebut memberikan selamat dan menggenggam tanganku dengan erat, “pertahankan akhlak baikmu nak, hormati dan sayangi orang tuamu, teruslah semangat beribadah dan doakan mereka”
Turun dari panggung mak dan aku menangis tersedu – sedu, ini kali pertama aku melihat mak menangis bahagia, Masyallah rasanya. Lalu melihat sekiling orang sibuk mengabadikan diri berfoto bersama – sama, tapi apalah daya karena kami cuma punya ongkos angkot pulang saja, jadi kami tak mampu membayar tukang foto untuk berfoto sebagai kenang – kenangan.
Pasti lucu sekali membayangkan aku yang kurus hitam memakai baju wisuda dengan sepatu yang kebasaran, tapi hari bersejarah itu tetap terkenang melekat disanubari.

Hari itu aku tetap merindukan angin… aku ingin angin menyampaikan salam untuk bapakku, pulanglah pak hiduplah bersama kami, kita hadapai dunia baik suka maupun duka.

Kita belajar beribadah bersama - sama, karena selama yang aku tau aku tak pernah melihat bapak sholat, puasa ataupun mengaji, aku ingin kita sholat berjamaah, kami merindukanmu, peluk dan sayang dari mak dan anak – anakmu, aku ingin kita menjadi keluarga bahagia dunia dan akhirat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar